Oleh: Muhammad Sahrir, Mantan Ketua PWI Sumut
Masih mau jadi wartawan? Bersiaplah, suatu saat anda akan mati dibunuh, ditembak, ditabrak, rumah dibakar, diancam, diteror, dimaki dan berbagai perlakuan tidak manusiawi lainnya. Semua peristiwa sadis ini bakal dihadapi jika pemberitaan bertentangan dengan para pelaku kejahatan.Dengan berbagai cara mereka akan berusaha membungkam. Mulai dari ancaman teror hingga pembunuhan sadis. Menariknya, pelakunya bukan objek pemberitaan, tapi selalu melibatkan pihak ketiga untuk menghilangkan jejak. Dan, aktor utamanya baru terungkap jika pelakunya tertangkap.
Inilah duka laten yang melingkari kehidupan wartawan. Tak pernah ada jaminan yang pasti tentang keselamatan jiwanya. Padahal di UU Pers pasal 8 disebutkan; Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Artinya, ada jaminan keselamatan saat wartawan melaksanakan tugas, termasuk perlindungan keamanan dari pihak manapun.
Namun faktanya, kriminalisasi selalu menghantui wartawan saat melaksanakan tugas. Mulai dari kekerasan verbal yang merenggut nyawa hingga kekerasan nonverbal datang silih berganti. Semuanya bermuara pada pemberitaan yang dianggap kontradiksi bagi pelaku kejahatan, walaupun sudah memenuhi kaedah jurnalistik.
Inilah wartawan, tak akan pernah mampu memprediksi langkahnya dari hari kehari. Setiap saat, ancaman selalu datang menghadang. Makanya aku selalu mengingatkan kepada rekan-rekan sejawat dalam setiap dialog dan ceramah untuk tetap berhati-hati dan mengutamakan keselamatan diri.
“Setiap anda melangkahkan kaki dari rumah, anda tak akan pernah tau peristiwa apa yang bakal anda hadapi. Langkah kananmu adalah mengkabarkan informasi kepada masyarakat, namun langkah kirimu bisa menuju rumah sakit hingga kematian. Ini akibat tulisan, pemberitaan dan tayangan yang anda lakukan berseberangan dengan pelaku kejahatan. Padahal anda sudah berbuat benar, menjalankan tugas jurnalistik sesuai UU Pers dan KEJ, namun bagi pelaku kejahatan anda dianggap momok yang harus dimusnahkan. Antisipasinya, yakinkan diri bahwa apa yang anda lakukan adalah pekerjaan mulia. Serahkan semua pada Allah, karena Dialah yang menentukan jalan hidup kita. Tapi, tetaplah waspada, utamakan keselamatan diri, dan jika hal terburuk yang terjadi kita harus siap menghadapi. Ini resiko kita sebagai penghubung informasi.”Memang, maut tak bisa dielakkan. Semua orang harus siap menghadapinya, namun bagaimana jika kematian seakan sudah direncanakan? Faktanya, tak satu wartawan yang harus meregang nyawa dibunuh secara keji oleh para pelaku biadab.
Tergres, kasus tewasnya Marasalem Harahap, Pemred lassernewstoday.com ditemukan meregang nyawa didekat rumahnya di Karang Anyer, Simalungun, Sabtu dinihari (19/6) dengan luka tembak.
Walau banyak spekulasi tentang attitude korban selama menjalankan profesinya, baiknya kita abaikan dulu. Kucing tetangga yang sering mencuri ikan di rumah kita sekalipun jika kita aniaya atau dibunuh bisa menimbulkan kegaduhan besar bahkan berujung ke penjara jika pemiliknya complain.
Begitu juga seorang pembunuh jika dibunuh malah kitanya juga dianggap pelaku pembunuhan. Ini adalah hakekat negara hukum. Semua warga negara sama hak dan kedudukannya dimata hukum, tanpa pengecualian. Tapi jika kita negara barbar, prilaku saling bunuh adalah lumrah.
Siapa yang kuat dia yang berkuasa, siapa yang lemah hanya akan jadi objek kekuasaan. Itukah? Tanyakan pada rumput yang bergoyang, kata Ebiet G. Ade.
Selain Marsal Siregar, banyak wartawan yang tewas dibunuh sebagai dampak dari pemberitaan, jumlahnya belasan. Serunya, dari sejumlah kasus hanya sebagian kecil saja yang terungkap, sebagian besar lainnya masih meninggalkan misteri. Dan, lagi-lagi pelakunya bukan objek pemberitaan, tapi pembunuh bayaran atau orang suruhan agar peristiwa kriminal berat bisa hilang jejak. Luar biasa memang cara membungkam wartawan.
Di Nias Selatan, Sumatera Utara, kasus Eliyuddin Telaumbanua, wartawan Berita Sore Medan tahun 2005 yang tak terkabar hidup atau mati masih menggantung. Anehnya walau tak terkabar keberadaannya, polisi saat itu menetapkan 7 orang tersangka pelaku pembunuhan. Di Probolinggo, Jawa Timur, Herliyanto, wartawan Tabloid DeltaPos Sidoarjo ditemukan tewas tahun 2006. Polisi menangkap 3 pelaku, tapi pengadilan membebaskannya dengan dalih 2 pelaku tak cukup bukti dan 1 lagi dianggap gila. Kasus ini bak tak berujung. Di Pontianak, Kalimantan Barat, Naimullah, wartawan Sinar Pagi ditemukan tewas tahun 1997, belum juga terungkap. Di Merauke, Papua, Ardiansyah Wibisono, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV ditemukan tewas tahun 2010, dianggap tewas biasa akibat tenggelam, padahal badannya penuh luka. Di Maluku Tenggara Barat, Alfrets Mirulewan, Pemred Tabloid Pelangi ditemukan tewas tahun 2010. Kasus bergulir, pelaku disidangkan tapi semua tersangka serentak cabut BAP, kasus akhirnya ngambang.
Pembunuhan Udin Bernas lebih seru, bak jalan tak berujung. Fuad M. Syarifuddin wartawan Harian Bernas Jogjakarta tewas dibunuh tahun 1996, namun sampai kini masih misteri hingga melahirkan banyak spekulasi mengungkap fakta sebenarnya. Kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, AA Narendra Prabangsa tahun 2009 di Pelabuhan Padang Bai, Bali tak kalah menarik. Pelakunya sudah divonis seumur hidup, namun diringankan menjadi 20 tahun karena grasinya dikabulkan Presiden Jokowi. Tahun 2010, Ridwan Salamun, kontributor Sun TV di Tual, Maluku Tenggara tewas meregang nyawa dibantai saat meliput pertikaian warga. Uniknya 3 pelaku dibebaskan pengadilan karena dianggap tidak terbukti.
Belum lagi Ersa Siregar, wartawan RCTI dan kameraman TVRI Aceh, Muhammad Jamaluddin yang tewas ditembak saat meliput konflik TNI-GAM di Aceh tahun 2003, termasuk Agus Mulyawan, koresponden Asia Press Jepang tahun 1999 tewas ditembak di Los Palos, Timtim (masih bagian kedaulatan RI).
Tahun 2019 di Labuhan Batu, Sumut juga digegerkan tewasnya 2 wartawan, Maraden Sanipar dan Martua Siregar. Dalam kasus ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai kematian kedua wartawan terkait tugas jurnalistik, namun keduanya dianggap LSM dan bukan melaksanakan tugas jurnalistik. Peristiwa lain yang belum bersentuhan nyawa wartawan juga berlangsung secara beruntun di Sumut dengan rentang waktu belum sebulan. 29 Mei 2021 terjadi kasus percobaan pembakaran rumah wartawan linktoday.com, Abdul Kahar Lubis di Siantar, 31 Mei mobil wartawan Metro TV, Pujianto dibakar OTK di rumahnya di Sergai. 13 Juni 2021, rumah orangtua wartawan Metro 24, Syahara Sofyan di Binjai dibakar OTK dengan bom molotov.Ya, inilah wartawan. Punya tugas mulia, tapi tak pernah terhargakan nyawanya. Semua pihak sudah beraksi, mengecam segala bentuk aksi kriminalisasi terhadap profesi, namun tak pernah ada jaminan atas rentetan peristiwa yang terjadi. Wartawan dianggap ratu dunia, penyambung aspirasi, bak pilar keempat pembangunan. Ternyata semua itu cumak lip service.
Kemarin satu nyawa lagi melayang, besok-besok pasti bakal ada lagi. Lantas, akankah wartawan akan berhenti berekspresi? Atas nama kemerdekaan pers, wartawan takkan surut berpantang. Layar sudah dikembangkan, teruslah menyampaikan kebenaran, walau nyawa taruhannya. Hanya saja, atas nama persamaan hak, kebebasan pers dan penegakan hukum di negeri ini, beri kami kenyamanan agar kami mampu menyampaikan fakta. Itu saja.